Usia prasekolah adalah di umur 4-5 tahun dengan tahapan yang dikenal sebagai Initiative (Inisiatif) vs. Guilt (Perasaan Bersalah). Pada tahap ini, anak membangun diri dengan mengembangkan berbagai kecakapan. Kecakapan yang ia miliki membuat anak memberanikan diri untuk berinisiatif (initiative) melakukan aneka kegiatan. Apabila inisiatif tersebut gagal membuahkan hasil, maka terdapat kemungkinan bahwa anak merasa bersalah (guilt). Akan tetapi jika inisiatif ini berhasil, maka ia dengan sukses menjalani tahap perkembangan berikutnya yaitu usia sekolah.
Kemudian, usia sekolah adalah di umur 6-11 tahun dengan tahapan yang disebut sebagai industry (Keaktifan) vs. Inferiority (Perasaan Rendah Diri). Pada tahap ini, anak aktif belajar dari lingkungannya dan ingin berbuat sesuatu dengan sekitarnya dengan adanya dorongan rasa ingin tahu yang besar. Apabila keaktifan ini mengalami hambatan, maka ada kemungkinan anak merasa rendah diri. Namun apabila anak mendapatkan buah yang manis dari keaktifannya, maka ia akan berhasil maju ke tugas perkembangan sebagai seorang remaja.
Bagaimana kegiatan seperti memasak dapat membantu anak dalam menghadapi tugas perkembangannya? Pada anak usia prasekolah, kegiatan memasak dapat menjadi bagian dirinya mengeluarkan inisiatif. Anak dapat merancang menu, mengusulkan hidangan serta mencoba membuat masakan bersama-sama dengan orang tua. Orang tua dapat melakukan stimulasi misalnya dengan memperkenalkan buku resep bersama anak, menunjukkan video cara memasak dari Internet serta mengicipi menu baru sebagai bagian dari petualangan kuliner.
Ketika anak ingin mencoba memasak, maka orang tua dapat membuat agar pengalaman tersebut memiliki kemungkinan berhasil yang besar. Orang tua dapat mengarahkan anak untuk memilih masakan dengan tingkat kesulitan sesuai usia, mencoba menu yang sudah jadi bagian dari ritual keluarga sehingga langkah-langkahnya tak lagi asing, serta ikut terlibat dalam proses mulai dari belanja sampai menghidangkan makanan di atas meja.
Sedangkan untuk anak usia sekolah, orang tua dapat memberikan peran lebih besar lagi kepada anak. Keaktifan anak untuk mencoba ini dan itu dapat disalurkan pada beragam teknik memasak – mulai dari merebus, mengkukus, mengoreng, memanggang dan lain sebagainya. Anak bisa dipandu untuk bereksperimen, misalnya bahan yang sama yakni kentang, akan berbeda hasilnya jika direbus, dipotong memanjang lalu digoreng, diiris tipis lalu dicampur daging cincang serta keju lalu dipanggang, dan lain sebagainya. Variasi teknik juga dapat diikuti dengan variasi rasa dengan menggunakan bumbu dan rempah yang berbeda.
Kegiatan memasak ini juga dapat disinergikan dengan aneka kemajuan jaman yang tersedia luas bagi keluarga urban. Lewat Internet, anak dapat mencari resep kesukaannya. Dengan berselancar di YouTube bersama orang tua, si anak dapat belajar dari video tutorial tentang bagaimana mengolah bahan. Perbedaan aneka gaya memasak juga bisa dilihat dengan membandingkan resep yang satu dengan yang lain di berbagai kanal gaya hidup urban. Apabila selesai memasak, si anak juga dapat pamer prestasi lewat media sosial seperti Facebook dan Instagram milik Ayah dan Bunda. Masakan ini pun bisa dikemas di kotak bekal agar si anak bisa menawarkan hasil karya ke sahabatnya di kelas.
Pengalaman memasak ini juga dapat terus diperluas lagi. Di waktu senggang saat keluarga bisa bermain bersama, anak bersama kakak dan adiknya dapat main game online tentang restoran dengan adu cepat saji. Sambil menonton televisi, keluarga dapat menikmati aneka program masak memasak baik untuk peserta dewasa maupun anak-anak. Edukasi orang tua tentang kesetaraan peran gender juga dapat dilakukan karena memasak dapat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan.
Ketika berkesempatan untuk makan di luar di berbagai fasilitas hiburan khas perkotaan seperti mall, Ayah dan Bunda dapat mencoba aneka restoran dengan menu yang mengejutkan agar memperkaya pengalaman sensori rasa pada anak. Bahkan orientasi karir lewat dunia kuliner ini dapat diperkenalkan kepada anak – antara lain memicu anak untuk berjualan masakan saat bazaar sekolah. Hal ini merupakan investasi karir masa depan mengingat di konteks urban, tren gaya hidup sehat tak pernah luntur dan salah satu yang terus laris manis adalah makanan sehat.
Bagi keluarga urban yang serba praktis, memasak mungkin dirasa merepotkan. Jaman sekarang, orang tua sendiri tidak piawai memasak, apalagi jika harus mengajarkan memasak pada anak. Terlebih lagi, pilihan restoran cepat saji maupun masakan instan serba tersedia di lingkungan perkotaan. Peran orang tua adalah mengarahkan anak dalam mengasah tugas perkembangan agar membuat pilihan bijak. Lewat memasak, hal ini dapat diperkenalkan – misalnya memilih sayur dan buah segar dan bahkan organik jika memungkinkan, mengajari anak berbelanja dengan mencermati label pada kemasan makanan, belajar
untuk kritis terhadap iklan aneka makanan minuman yang belum tentu sehat yang terus membombardir dan terus mengembangkan pengalaman kuliner keluarga. Dengan demikian Ayah Bunda dan si anak dapat menghayati bahwa melalui memasak, keluarga dapat melakukan eksplorasi bersama memperluas wawasan dan mempererat keakraban keluarga. Tak penting betul apakah si Ayah atau si Bunda cekatan bak chef kelas dunia, yang penting semua bersama-sama belajar.
Kembali ke tugas perkembangan, ketika serangkaian sikap, perilaku atau keterampilan khas usia tertentu berhasil muncul dengan baik, maka individu tersebut dapat merasakan kebahagiaan dan kesuksesan dalam menghadapi tugas berikut. Memasak adalah kegiatan yang boleh jadi mudah, murah dan sederhana untuk dilakukan bersama sekeluarga – namun dampaknya sangat besar pada tugas perkembangan sebagai anak usia prasekolah dan sekolah.
Penulis:
Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo, M.A., M.Psi., Psikolog
Program Studi Psikologi Universitas Pembangunan Jaya