“Waduh, kayaknya aku depresi! Butuh waktu self-healing nih”
“Huft, aku gak kuat lagi buat ngadepin tugas susah kayak gini terus. Aku butuh waktu libur buat self-healing”
Siapa sih yang tidak pernah mendengar keluhan seperti di atas? Belakangan ini, penggunaan kata ‘self-healing’ di tengah remaja marak digunakan untuk menggambarkan kondisi dirinya yang membutuhkan waktu ‘liburan’ untuk mendapatkan ketenangan dan “melarikan diri” dari kondisi buruk yang sedang dihadapi. Namun, apakah penggunaan kata self-healing ini benar?
Konsep self-healing di kalangan anak muda saat ini selalu dikaitkan dengan waktu liburan atau relax sejenak. Salah satu psikolog klinis di Indonesia, Arindah Arimoerti Dano, mengatakan bahwa terdapat kesalahan makna yang berkembang di antara remaja saat ini terkait penggunaan kata self-healing yang dianggap sebagai waktu istirahat untuk bersenang-senang. Padahal secara psikologi, self-healing merupakan sebuah proses menyembuhkan luka batin atau konflik internal yang dialami seorang individu dengan menyatukan dan menerima diri. Proses self-healing dilakukan oleh individu yang mengalami kesulitan dalam mengatur konflik emosional dalam dirinya yang menyebabkan trauma, depresi, stress, dan lainnya
Prof. Rhenald Kasali menjelaskan empat alasan mengapa terdapat sebuah kesalahpahaman terkait konsep self-healing. Pertama, adalah fenomena self-diagnose dalam masyarakat, yaitu sebuah proses pemberian diagnosis bagi diri sendiri berdasarkan hasil identifikasi atau perolehan informasi terkait kondisi medis secara mandiri. Banyak orang yang menyatakan dirinya mengalami stress, depresi, trauma, bahkan memiliki gangguan tertentu setelah melihat informasi yang tersedia di internet. Perlu diketahui bahwa informasi yang tersedia belum tentu benar akibat tidak didasari oleh diagnosis dari ahli medis atau psikolog. Kedua, generasi muda saat ini sering kali disebut “the strawberry generation” atau kaum muda yang cenderung ‘lunak’ dalam menghadapi kesulitan sehingga menggunakan self-healing untuk menggambarkan waktu liburan atau rehat. Ketiga, adalah narasi orang tua yang kurang memiliki pengetahuan yang berkaitan dengan kesehatan mental dan kemudian memaknai kondisi anaknya melalui labelling. Misalnya orang tua yang memberikan label anaknya sebagai individu yang tidak stabil dan stress membuat anak menghayati label tersebut. Keempat, adalah alasan untuk lari dari kesulitan.
Kehidupan yang kita jalani tidak akan selalu berjalan mulus. Perlu diingat bahwa kita akan selalu menghadapi kesulitan di tengah perjalanan untuk mencapai sesuatu. Self-healing bukanlah sebuah proses untuk menghindari kesulitan yang sedang dihadapi justru self-healing berusaha untuk menyembuhkan luka batin dengan menerima diri apa adanya (accept ourselves for who we are), yakin kepada diri sendiri dalam mencapai apa yang diingkan, dan memaafkan kegagalan yang dialami sehingga mampu menghadapi luka atau kenangan masa lalu yang menyakitkan.
Terdapat sebuah video viral di media sosial TikTok terkait kegiatan self-healing yang ditunjukkan dengan menghancurkan barang dan melakukan staycation di Bali. Tentunya hal ini menarik banyak perhatian, bahkan seorang psikolog klinis, Veronica Adesla mengatakan bahwa metode menghancurkan barang bukan termasuk pada kegiatan self-healing karena seharusnya self-healing merupakan proses untuk melakukan koneksi kepada diri sendiri melalui sebuah ketenangan. Terkadang perilaku ini sengaja dilakukan untuk mencari perhatian dengan mengelabui orang lain agar percaya, padahal ini adalah perilaku tidak benar (deception behavior). Proses pemulihan diri atau self-healing sebenarnya dapat dilakukan dengan mendengarkan lagu yang menenangkan, mengkonsumsi makanan sehat, membuat gratitude journal, dan bercocok tanam .
Konsep self-healing bukanlah suatu kata yang dapat digunakan secara sembarangan. Hal ini bukan hanya sekedar stay cation atau lari dari kenyataan yang sulit namun self-healing merupakan proses untuk menyembuhkan luka batin agar mampu menghadapi luka atau kenangan masa lalu. Yuk, mulai sekarang pahami terlebih dahulu sebelum menggunakan sebuah istilah!
Tim penulis:
Clara Moningka & Annisa Windi Soewastika
Universitas Pembangunan Jaya
Daftar Referensi:
- Davis, T. (2022). Self-Healing: Definition & Tips for Healing Yourself. The Berkeley Well-Being Institute. https://www.berkeleywellbeing.com/self-healing.html
- Hammer, M., & Hammer, B. (2018). The Basis of Psychological Healing and Emotional Wellness. Journal of Psychiatry and Mental Illness, 1(1), 1–8. https://www.researchgate.net/publication/322901333_THE_BASIS_OF_PSYCHOLOGICAL_HEALING_AND_EMOTIONAL_WELLNESS
- Kasali, R. (2022). Tahu Engga Healing Itu Dibutuhkan Siapa ? https://www.youtube.com/watch?v=jN_1zycaTNM&t=257s
- Kesarovska, L. (2016). A Guide to Self-Healing : 10 Steps to Loving Yourself Again. Let’s Reach Success. https://letsreachsuccess.com/2016/04/05/guide-self-healing/
- Moningka, C., & Selviana, M. (2020). Pengembangan Skala Deception Behavior in Social Media. Jurnal Psikologi Ulayat, 8, 110–122. https://doi.org/10.24854/jpu143
- Nariswari, S. L. (2022). Tren Healing dengan Staycation dan Liburan , Apa Kata Pakar ? Kompas. https://lifestyle.kompas.com/read/2022/02/18/145051620/tren-healing-dengan-staycation-dan-liburan-apa-kata-pakar?page=all
- Pinandhita, V. (2021). Viral Hancurkan Barang Demi “Self Healing”, Tepatkah? Ini Kata Psikolog. Health.Detik.Com. https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5824925/viral-hancurkan-barang-demi-self-healing-tepatkah-ini-kata-psikolog
- Thatcher, T. (2021). Dangers of Self Diagnoses. Highland Spring Clinic.Org. https://highlandspringsclinic.org/blog/dangers-of-self-diagnoses/