“Culture brings knowledge. Knowledge leads to consciousness. And when we become conscious we are one short step away from becoming socially responsible. Culture is the key.” Massimo Bottura
Saat ini, 1/3 makanan yang dikonsumsi oleh manusia terbuang percuma, sedangkan lebih dari 800 juta orang di seluruh dunia mengalami kelaparan, kurang gizi, dan memiliki keterbatasan akses terhadap makanan segar dengan harga terjangkau. Indonesia sendiri merupakan negara dengan pemborosan makanan ke-2 terbesar di dunia. Pada tahun 2021, Indonesia memiliki sampah sisa makanan sebanyak 46,35 juta ton, bahkan melebihi sampah plastik. Hal ini sangat memperihatinkan, mengingat bahwa di Indonesia masih banyak orang mengalami kelaparan dan kekurangan gizi.
Sudah banyak lembaga nirlaba yang turut prihatin dengan permasalahan ini. Lembaga seperti Foodcycle Indonesia, yang merupakan bagian dari the global food banking network berusaha untuk membantu masyarakat yang sulit mendapatkan akses makanan layak dan sehat dengan bekerja sama dengan beberapa pendonor. Pendonor tersebut termasuk jaringan rumah makan, hotel yang bisa memberikan sumbangan makanan kepada masyarakat yang membutuhkan.
Benyak dari kita tidak menyadari bahwa ketika kita membuang makanan, berarti kita juga ikut melakukan pemborosan air dan energi yang dibutuhkan untuk melakukan penanaman, panen, pengepakan dan pendistribusian. Sampah makanan juga dapat menghasilkan metana yang lebih berbahaya dari karbondioksida. Dalam dunia modern ini, seharusnya media sosial bisa menjadi sarana untuk edukasi mengenai food waste dan dampaknya.
Pada kenyataannya kondisi masyarakat yang kelaparan, kurang gizi malah masih tidak diketahui. Di sisi lain media sosial kerap menampilkan gaya hidup yang mewah, menghamburkan uang, atau menampilkan keindahan. Hal yang memang banyak ingin dilihat oleh banyak orang. Edukasi mengenai pentingnya untuk menjaga lingkungan dan keberlangsungannya memang kurang mendapat perhatian.
Wawancara pada tiga orang remaja di perguruan tinggi, membuktikan bahwa mereka tidak menyadari efek dari food waste pada lingkungan. Mereka juga tidak menyadari bahwa masih banyak masyarakat yang mengalami kekurangan gizi. Remaja di perguruan tinggi tersebut memiliki kemudahan mengakses makanan dengan harga terjangkau di lingkungan mereka.
Penulis juga melakukan observasi di resto cepat saji di wilayah Jakarta. Banyak pengunjung yang membeli makanan secara berlebih dan kerap tidak menghabiskan makanan mereka. Mereka juga enggan untuk membawa sisa makanan yang ada. Alasan mereka adalah karena merepotkan, malu, dan harganya murah. Bagi mereka yang memiliki uang, mengakses makanan memang menjadi mudah. Tidak perlu repot mencari makanan atau mengolahnya. Sisa makanan juga menjadi tidak berarti.
Mossimo Bottura seorang chef dan pendiri Food for Soul mengemukakan bahwa penting untuk membentuk budaya menghargai makanan dan menghindari food waste. Lembaga ini juga mendukung konsumsi yang bertanggung jawab, menyelamatkan makanan supaya tidak terbuang dan kemudian mendonasikan pada yang membutuhkan. Budaya atau kebiasaan untuk mendukung keberlanjutan adalah sesuatu yang perlu dibentuk. Kebiasaan ini yang akan membantu individu untuk menolong individu lain yang membutuhkan.
Salah satu program pembentukan perilaku atau budaya pro-lingkungan juga dilakukan Program Studi Psikologi Universitas Pembangunan Jaya. Beberapa dosen dan mahasiswa berupaya melakukan edukasi pada masyarakat sekitar, khususnya anak usia sekolah dasar untuk menghargai makanan dan kemudian mengidentifikasi bahan pangan di sekitar mereka yang bisa dikonsumsi atau diolah.
Keterangan foto: Kegiatan UPJ di SD Negeri Sawah Baru 1, Jl. Cendrawasih VII No.2, Sawah Baru
Gerakan ini diharapkan dapat membuat siswa membentuk perilaku menghargai makanan, menghabiskan makanan yang ada dan kemudian juga menghargai sumber daya alam yang ada di sekitar mereka. Diharapkan mereka juga terdorong untuk melakukan penanaman tanaman yang bisa membantu peningkatan gizi keluarga di rumah atau sekolah.
Melalui makanan, kita dapat terhubung dan bersatu, melalui makanan pula kita dapat belajar berempati dan menolong sesama.
Tim Penulis:
Clara Moningka dan Maria Jane T. Simanjuntak
Staf Pengajar Program Studi Psikologi – Universitas Pembangunan Jaya
Referensi: