Saat ini, tren seakan-akan “memiliki’ aktris, aktor, atau pesohor lainnya menjadi meluas. Sebut saja, Arya Saloka yang terkenal karena beberapa sinetron yang digemari remaja sampai lansia. Istrinya kerap mendapat komen tidak menyenangkan. Sang aktor sendiri kerap dijodohkan dengan lawan mainnya. Banyak penggemar yang merasa dekat dan tahu betul tentang kehidupan aktor tersebut.
Dalam psikologi ada istilah perilaku parasosial. Perilaku ini mengacu pada perasaan dekat antara penggemar dengan idolanya. Si penggemar bisa merasa dekat dan tahu mengenai idolanya tersebut. Biasanya penggemar akan dengan intens mengikuti kegiatan sang idola secara langsung bila memungkinkan, atau mengikuti terus di media sosial. Mereka bahkan tidak segan untuk berselisih hanya karena idolanya dijelek-jelekan. Hubungan ini bersifat satu pihak dan kebanyakan tidak disadari oleh sang idola. Konsep ini pada awalnya dikemukakan oleh Horton dan Wohl yang menjelaskan bahwa hubungan parasosial kedekatan yang berjarak.
Individu memiliki hubungan parasosial karena merasa bahwa “relasi” yang ada dapat memuaskan mereka secara sosial dan emosional. Bisa saja, sang idola memang figur ideal yang diimpikan atau menjadi panutan. Penggunaan media sosial yang berkepanjangan, banyaknya tontonan seperti drama, sinetron yang menampilkan sosok pujaan bisa menyebabkan individu memiliki hubungan “pemujaaan”. Dalam hal ini sosok idola bisa jadi memang ada di kehidupan nyata sebagai selebritas namun bisa saja merupakan karakter belaka.
Fenomena parasosial ini bisa berdampak pada banyak hal. Di satu sisi fenomena ini bisa mendorong terjadinya perilaku konsumen seperti pembelian impulsif. Dengan keyakinan bahwa mereka “memiliki” idolanya, penggemar tidak mau ketinggalan untuk mensukseskan acara atau membeli produk yang berkaitan dengan idolanya. Fenomena ini juga digunakan oleh resto cepat saji besar untuk memasarkan produk sehingga terjadi antrian pembelian. Di sisi lain muncul pula fenomena romantic belief, yaitu bagaimana individu memiliki pandangan mengenai bagaimana ia dapat membangun hubungan dengan pasangannya. Individu bahkan bisa saja merasa membangun hubungan dengan idolanya.
Pada dasarnya kita boleh saja memiliki idola, namun seharusnya bisa memisahkan antara apa yang kita sukai atau idolakan dengan relasi di dunia nyata. Membuat idola atau perannya dalam suatu media menjadi nyata pada dasarnya hanyalah Impian dari penggemar saja. Idola sendiri memang harus menampilkan diri dan memonitor diri dengan baik. Di sisi lain, apa yang mereka tampilkan pada drama atau sinetron hanyalah karena mengikuti skenario semata. Kita sebagai penggemar juga perlu menyadari bahwa mereka juga manusia yang memiliki keterbatasan. Di sisi lain mereka dan keluarganya juga membutuhkan privasi dan memiliki batasan-batasan. Ada baiknya kita menyadari bahwa ada kedekatan nyata yang perlu kita kembangkan pada keluarga, kerabat atau teman. Boleh-boleh saja sih punya idola, tapi tetap memiliki batasan dan berpijak pada realita.
Penulis:
DR. Clara Moningka , S.Psi., M.Si
Prodi Psikologi
Universitas Pembangunan Jaya
Referensi:
- Horton, D., & Wohl, R. R. (1956). Mass communication and parasocial interaction: Observations on intimacy at a distance. Psychiatry: Journal for the Study of Interpersonal Processes, 19, 215-229. https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00332747.1956.11023049
- Hoffner, C. (2008). Parasocial and online social relationships. In S. L. Carvert & B. J. Wilson (Eds.). The Handbook of Children, Media, and Development. Massachusetts: Blackwell. https://psycnet.apa.org/record/2008-10558-014
- Jin, B., & Kim, J. (2015). Television drama viewing and romantic beliefs: Considering parasocial interaction and attachment style. International Journal of Humanities and Social Science, 5(10). http://www.ijhssnet.com/journals/Vol_5_No_10_October_2015/5.pdf