Saat pandemi, ada perubahan pola kerja yang terjadi, seperti kebijakan ‘Work From Home’. Kita belajar menyesuaikan diri bekerja dengan cara baru dan alat kerja baru untuk menjalankan tiap tugas. Butuh waktu untuk belajar sampai kemudian terbiasa dengan kondisi tersebut. Saat ini kita telah kembali lagi ke kondisi normal layaknya sebelum terjadi pandemi. Pergeseran cara bekerja terjadi kembali.
Survei yang dilakukan oleh JobStreet tahun 2023 terhadap perusahaan di Indonesia menunjukkan sebanyak 60% telah memberikan kebijakan agar semua pegawai telah kembali melaksanakan Work From Office. Sayangnya kebijakan WFO yang awalnya selalu ditunggu-tunggu ketika pandemi justru saat ini malah menjadi hal yang tidak disenangi bagi sebagian pekerja. CNBC Indonesia menjelaskan bahwa terdapat beberapa responden merasa WFH adalah metode yang membuat nyaman karena dapat mengurangi waktu perjalanan, menghemat biaya transportasi, dan ternyata membuat individu dapat mengatur waktu ketika bekerja. Di satu sisi, bekerja di rumah juga membuat kita tidak memiliki batasan antara pekerjaan dengan aktivitas rumah. Hal ini juga kerap membuat pekerja menjadi stres. Manajemen waktu menjadi hal yang memang sangat penting bagi pekerja, khususnya ketika sudah beraktivitas. Kita akan berusaha mengatur waktu agar tercapai keseimbangan antara pekerjaan dan aktivitas di luar pekerjaan atau sering disebut work-life balance.
Banyak dari pekerja yang beranggapan bahwa work-life balance merupakan hal yang sulit dicapai alias utopia. Bagaimana kita memperoleh keseimbangan dalam menjalani kehidupan sehari-hari dengan segala kepadatan pekerjaan kita. Pada dasarnya work-life balance adalah sesuatu yang harus diusahakan oleh individu sendiri. Keseimbangan bagi setiap orang bersifat subjektif.
Kesehatan mental bagi pekerja adalah hal yang penting. Kita perlu memperhatikan lingkungan kerja (work environment) sehingga dapat mengurangi tingkat stress dan membantu mencegah terjadinya burn out. Mengatur lingkungan juga dapat membantu kita menciptakan work life balance. Jika seperti itu, memang apa saja yang dapat menjadi faktor dari work-life balance yang kita miliki?
Pouluse dan Susdarsan (2015) memaparkan 4 macam faktor yang dapat memengaruhi work life balance yaitu faktor individual, faktor organisasional, faktor lingkungan, dan faktor lainnya seperti usia, pengalaman, dan penghasilan. Faktor individual pada dasarnya meliputi kesejahteraan, kepribadian dan emosi. Kesejahteraan diri merupakan suatu hal yang penting, oleh karena itu prinsip ‘clocking out, turning off’ sebagaimana dijelaskan oleh Morgan harus diterapkan. Hal ini agar diri kita dapat membatasi waktu kerja sehingga tidak overwork bahkan orang lain dapat memahami serta menghargai libur sehingga tidak mengganggu.
Pada faktor kedua yaitu faktor organisasional di mana lingkungan kerja baik dari segi rekan kerja serta lingkungan yang nyaman. Interaksi positif di lingkungan kerja sangat penting sehingga dapat mencapai visi misi bersama dengan mengutamakan prinsip kebersamaan, kejujuran, saling menghargai, dan transparan. Faktor lingkungan seperti dukungan keluarga, anak, dan lainnya tanpa disadari juga menjadi suatu hal yang penting. Penelitian yang dilakukan oleh Leung et al., (2020) menunjukkan bahwa dukungan keluarga bagi seorang individu yang bekerja sangatlah penting. Dukungan membuat individu memiliki emotional support. Hal ini memengaruhi kebahagiaan individu dan kepercayaan diri dalam bekerja. Faktor seperti usia, pengalaman, penghasilan, dan tipe pekerjaan juga dapat memengaruhi bagaimana keseimbangan hidup kerja yang dimiliki. Bertambahnya usia, kesehatan juga menjadi hal yang perlu diperhatikan sehingga tidak mengganggu kondisi fisik dalam menjalankan setiap pekerjaan. Olahraga juga menjadi sarana untuk beristirahat sejenak dari pekerjaan dengan melakukan kegiatan relaksasi seperti yoga dan meditasi. “Me time” juga bisa dilakukan dengan hemat, seperti membaca di rumah, menonton televisi, memasak, bahka berkebun. Bila memiliki sumber daya lebih, berlibur bisa menjadi alternatif. Mengambil cuti juga perlu untuk sesekali menarik diri dari pekerjaan. Yuk, mulai berusaha menciptakan work-life balance ala kita.
Tim Penulis:
Clara Moningka & Annisa Windi Soewastika
Program Studi Psikologi – Universitas Pembangunan Jaya
Daftar Referensi:
- Burke, M. (2017). Creating A positive workplace culture – a little kindness goes a long way. Huffpost https://www.huffpost.com/entry/creating-a-positive-workplace-culture-a-little-kindness_b_59a43419e4b0a62d0987b0f0
- Dewi, I. R. (2023). Mayoritas pegawai kantoran ternyata lebih suka WFO, setuju? CNBC Indonesia. https://www.cnbcindonesia.com/tech/20230208064146-37-411941/mayoritas-pegawai-kantoran-ternyata-lebih-suka-wfo-setuju
- Leung, Y. K., Mukerjee, J., & Thurik, R. (2020). The role of family support in work-family balance and subjective well-being of SME owners. Journal of Small Business Management, 58(1), 130–163. https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/00472778.2019.1659675
- Morgan, K. (2023). What does work-life balance mean in a changed work world? BBC. https://www.bbc.com/worklife/article/20230227-what-does-work-life-balance-mean-in-a-changed-work-world
- Poulose, S., & Susdarsan, N. (2014). Work- life balance : a conceptual review. International Journal of Advances in Management and Economics, 3(2), 1–17. file:///C:/Users/USER/Downloads/0102032014.pdf
- Sadya, S. (2023). Mayoritas perusahaan di Indonesia kembali WFO pada 2022/2023. Dataindonesia. https://dataindonesia.id/tenaga-kerja/detail/mayoritas-perusahaan-di-indonesia-kembali-wfo-pada-20222023