Berkomunikasi atau menyampaikan pesan di media sosial adalah hal yang yang biasa dilakukan saat ini. Berkembangnya teknologi informasi, maraknya fitur di media sosial yang menyediakan berbagai layanan, membuat orang dapat bebas berkreasi di media sosial. Media sosial bisa digunakan untuk menambah penghasilan, membantu orang lain, meningkatkan pamor, dan lain-lain.
Fenomena yang saat ini marak dan cukup mengkhawatirkan adalah menyebarkan konten mengenai keadaan mental diri.
Beberapa waktu lalu penyanyi muda Indonesia, Nadin Amizah, menjadi sasaran komentar negatif warganet gara-gara unggahan di twitter. Dalam unggahan tersebut Nadin menyinggung isu sensitif seputar kesehatan mental yang dideritanya. Dalam pernyataan yang diunggahnya, Nadin mengakui kalau ia mengalami gangguan mental dan hal ini bukan hal yang perlu dipermasalahkan oleh orang lain..
“Ribet bgt sekarang ngetweet apa-apa dipermasalahin. MENTAL GUE EMG GA STABIL DAN GUE PACAR ORANG. APA MASALAHNYA,” tulis Nadin di akun twitternya. Unggahan Nadin tersebut menuai sejumlah komentar negatif dari warganet yang menilai tidak sepantasnya mengumbar masalah kesehatan mental lewat di media sosial.
Tidak sedikit pula warganet yang mendukung sikap Nadin yang berani speak up dan tidak takut untuk melakukannya lagi. Selain Nadin, sejumlah seleb Indonesia sempat menggunakan media sosial sebagai tempat untuk mengungkapkan rasa kesal, marah, hingga curhat soal kondisi kesehatan mental mereka.
Bahkan ada pula pengguna media sosial yang kemudian melakukan diagnosis sendiri mengenai keadaan dirinya (self-diagnosis). Dalam hal ini, seseorang mencari sendiri informasi mengenai penyakit atau apa yang dirasakan oleh dirinya. Studi yang dilakukan Fox & Duggan (2013) menunjukkan bahwa sebanyak 35% pengguna internet cenderung melakukan self-diagnose dan tidak mengkonsultasikannya ke pihak professional, sedangkan 18% di antaranya mencoba melakukan konsultasi dengan pihak professional dan memperoleh hasil bahwa kondisinya tidak sesuai dengan self-diagnose yang mereka yakini. Begitu banyaknya informasi yang diperoleh individu dari pihak yang belum tentu atau tidak memiliki keahlian di bidangnya pada akhirnya akan sangat berbahaya.
Perilaku self-diagnosis dan membagikan keadaan diri di media sosial dilakukan dengan berbagai tujuan. Ada yang melakukan untuk mencari perhatian, mendapatkan simpati dari orang lain mengenai keadaannya, menambah jumlah follower yang kemudian bisa menghasilkan uang pula. Lalu bahaya apa yang mengintai?
Di Amerika, sejak 2021 perilaku membagikan kondisi mental yang didasarkan pada diagnosis pribadi sudah menjadi perhatian. Ratusan remaja membagikan konten TikTok mereka yang meyatakan bahwa mereka mengidap bipolar, kepribadian ganda dan sebagainya. Video ini dilihat ratusan juta kali dan dapat diakses oleh orang di berbagai belahan dunia. Banyak remaja yang melihat video tersebut kemudian menjadi cemas dan menduga-duga bagaimana kondisi mental mereka, bahkan mengikuti mengunggah konten mengenai apa yang terjadi pada mereka. Kondisi yang sebenarnya biasa saja seperti stres bisa menjadi luar biasa ketika menjadi konten media social. Di lain pihak orang yang benar-benar mengalami hal tersebut malah bisa menjadi semakin parah karena mendapat perhatian yang salah dan tidak mendapatkan perawatan yang tepat.
Glorifying Mental Illness dalam sosial media saat ini juga marak dilakukan remaja saat ini. LM Psikologi Universitas Gajah Mada (2021) menyatakan bahwa fenomena gloryfing mental illness ditunjukkan melalui perilaku individu yang merasa bangga dengan penyakit mental yang dimiliki. Di Indonesia sendiri perilaku ini juga banyak dilakukan di TikTok dengan membagikan video yang menyepelekan kesehatan mental, seperti “Gantian yuk, aku punya mental yang sehat; kamu punya mental tidak sehat” yang seakan-akan menyatakan bahwa kondisi kesehatan mental bisa bisa dibuat-buat. Atau ada yang dengan bangga menyatakan bahwa dirinya tidak sehat mental atau mengidap kelainan tertentu dan menceritakan kesehariannya dengan penuh drama untuk mendapatkan perhatian. Ada pula yang menyatakan ingin mengalami gangguan tertentu karena dianggap keren, jarang, atau supaya dimaklumi orang. Media sosial sudah digunakan dengan tidak sehat dengan tujuan yang salah.
Beberapa pihak influencer seringkali membagikan konten mengarahkan pada glorifikasi terhadap mental issue. Hal ini seringkali menarik perhatian dan menyebabkan banyak remaja keliru dalam memandang kondisi mental. Rola Jayadel, seorang professor dari University of Balamand mengungkapkan bahwa budaya penggunaan sosial media saat ini dalam membicarakan kesehatan mental sangat menyedihkan dan meremehkan penyakit serius yang seharusnya tidak sembarangan dianggap sebagai suatu hal yang ‘keren’ ataupun ‘spesial’.
Kesehatan mental adalah hal yang sangat penting dan juga issue yang sangat pribadi. American Psychological Association (APA) menjelaskan bahwa kesehatan mental adalah kondisi atau keadaan jiwa yang stabil yang ditandai dengan emosi yang sehat, penyesuaian diri yang baik, secara relatif bebas dari rasa cemas. Individu dengan mental yang sehat juga bebas dari simtom perilaku menyimpang dan mampu membangun relasi yang baik dengan orang lain, termasuk menghadapi tuntutan/stres dalam kehiduapan sehari-hari. Dalam hal ini simtom yang menyimpang tidak hanya dirasa-rasa, dicari-cari tetapi perlu mendapatkan diagnosis yang tepat dari pakar kesehatan mental, seperti psikolog klinis atau psikiater. Dengan diagnosis yang tepat seseorang akan mendapatkan perlakuan/peerawatan yang tepat yang dapat membantunya menjalani kehidupan dengan lebih baik.
Orang bisa saja membagikan konten untuk mendapatkan follower dan perhatian, kenyataaanya bisa saja apa yang dialaminya hanya rekayasa, tetapi efek dari video tersebut bisa menimbulkan kecemasan dan juga salah kaprah bagi orang lain. Kalau yah memang ada masalah yah selesaikan dengan cara yang tepat dan benar. Platform media sosial pada dasarnya juga perlu melakuan screening, video seperti apa yang bisa diunggah,hal ini memang sulit dilakukan melihat para pemakai yang begitu banyak dan batasan apa yang perlu diterapkan. Dalam hal ini kita yang sudah tahu dampaknya, sudah teredukasi paling tidak bisa melaporkan video semacam itu atau bahkan ikut mengedukasi orang lain. Jangan sampai hal yang salah menjadi trend. Ayo gunakan media sosial dengan bijak, bukan untuk menebarkan kecemasan, mencari simpati atau follower saja, tetapi juga memikirkan kesejahteraan orang lain, mengedukasi dan menyebarkan hal positif yang tentu saja dengan dasar/sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.
Tim Penulis :
Clara Moningka & Annisa Windi Soewastika
Universitas Pembangunan Jaya
Sumber:
- APA dictionary of psychology diunduh dari https://dictionary.apa.org/mental-health
- Harrison, C., Helaridi, F., Bernabe, A.J. (2021). Experts troubled by TikTok trend that can have teens believing they have serious mental disorders. Diunduh dari https://www.goodmorningamerica.com/wellness/story/experts-troubled-tiktok-trend-teens-believing-mental-disorders-81964649
- Fox, S., & Duggan, M. (2013). Health Online 2013. Pew Research Centre. https://www.pewresearch.org/internet/2013/01/15/health-online-2013/
- Glorifying Mental Illness: Perihal Estetik atau Masalah Pelik? (2021). Lembaga Mahasiswa Psikologi Universitas Gajah Mada. https://lm.psikologi.ugm.ac.id/2021/06/glorifying-mental-illness-perihal-estetik-atau-masalah-pelik/
- Joho, J. (2019). How being sad, depressed, and anxious online became trendy. Mashable. https://mashable.com/article/anxiety-depression-social-media-sad-online
- “5 Seleb Curhat di Medsos soal Mental: Nadin Amizah-Marshanda” https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20201202205818-234-577311/5-seleb-curhat-di-medsos-soal-mental-nadin-amizah-marshanda